Laman

22.2.11

kedinginan di Lab.

satu hal yang gak paling saya suka adalah dingin, atau lebih tepatnya lagi kehilangan panas..!!!

hari ni menggigil kedinginan di lab. >.<
hidung udah mulai berair..
dan mata semakin kabur, hwaaaaaaaa....

tapi pengukuran parameter selalu dan HARUS dilakukan setiap 3 jam sekali, 6 jam sekali, 9 jam sekali dan terakhir diambil setiap 24 jam sekali, itupun pengukuraannya diambil pas pada jam 24.00..

good..good...
berhasil ni planning menjadikan diri manusia lab.

gretek...gretek..getek...
ni tangan udah mulai keram
T.T

jam 5.15 am
subuh di lab.

alhamdulillah..hampir 1/4 hari pengamatan telah terlewati..

20.2.11

19.2.11

-riweuh menjelang penelitian-

emmm...apa lah yang lagi bisa dibilang...
ternyata benar, Alloh Ta'ala tidak akan memberikan sesuatu yang kita pinta disaat kita belum siap menerimanya..^^
tapi ini kaya mana yah...
hehe..
barusan dapat kabar kemarin sore dari koperasi belimbing di Depok, kalau hari senin belimbingnya udah bisa dipanen. otomatis hari senin kita start penelitian..
huuuufffttt.....!
kemarin sore sempat ke lab. bentar ternyata anak2 S1lagi rame yang penelitian..


heeemmmm...
start dari hari ini mulai persiapan peralatan di lab. karena InsyaAlloh senin minggu depan penelitianku akan dimulai.

ternyata ada beberapa parameter yang belum sempat diuji waktu prapenelitian bulan lalu. laju respirasi, ion leakage dan pH.
kemarin liat reza ngukur laju respirasi, hehe...walaaaaaaaah..alatnya error katanya..
lho...???
-_-"
bagaimana ini?
senin depan udah mulai pengukuran pertama, hehe..

asumsinya sih, mungkin jambu dan sawo yang diukur kemarin kurang banyak jadi kenaikan CO2 nya mungkin gak terukur, hari ini kepengen nyoba ngukur komoditi yang laju respirasinya tinggi..mudah2an terditek perubahan CO2 nya..
heemmm...ngukur ion leakage dan pH juga blom dicoba..mudah2an kalau gak sempat hari ini, besok bisa dikerjain...


semangat...semangaaaaaaaaaattt diaaaaaann....^^

Bismillahirrohmanirrohim...
Ya Alloh...berikanlah banyak kemudahan bagi hamba, aamiin..

liat langit malam ini


just...when in the night
you see the sky..
remember me..^^

now..i can see the sky in my window..
i imagine, right here,
i can sit beside you..

say.."i remember you.."
:)
"like when i see the star"

18.2.11

kasus susu bakteri, IPB TIDAK lempar batu sembunyi tangan

Sri Estuningsih (Estu) awalnya berburu bakteri dalam susu formula untuk penelitian doktoral saat menempuh pendidikan bidang Mikrobiologi dan Patologi di Justus Liebig Universitat, Gieben, Jerman.
 
Penelitian yang awalnya mencari penyebab diare pada bayi, dengan fokus pada Salmonella, Shigella dan E. Coli sebagai bakteri penyebab diare, justru menemukan Enterobacter Sakazakii.
Enam tahun setelah penelitian dilaksanakan, Estu justru menghadapi tuntutan hukum. Adalah David Tobing, Pengacara Publik yang berturut-turut memenangkan tuntutan di level Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah 1ee8 Konstitusi (MK).

Isi tuntutan tersebut adalah agar Institut Pertanian Bogor (IPB), Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Bpom) mengumumkan merek susu yang terpapar Enterobacter Sakazakii sesuai penelitian Estu yang dilaksanakan mulai tahun 2003 itu.
Pasalnya, penelitian yang mulai dilakukan pada 2003 itu bukanlah penelitian survaillance, artinya peneliti tidak mendaftar seluruh merek susu yang beredar di pasaran, melainkan semata mencari bakteri yang terdapat pada susu.

Apabila merek susu diungkap, hal itu tentunya tidak adil dan diskriminatif karena sampel tidak mewakili seluruh jenis susu dan makanan bayi yang beredar dipasaran. Padahal E. Sakazaki adalah jenis bakteri yang dapat dijumpai di mana-mana, termasuk dalam usus manusia yang tidak sakit.
———
Penelitian yang awalnya dilakukan di Jerman tersebut sebenarnya menyoroti cemaran Salmonella, Shigella dan E. Coli berkaitan dengan diare pada bayi. Bukannya menemukan ketiga bakteri tersebut, Estu justru menemukan cemaran E. Sakazakii sebanyak 13,5%, atau ditemukan dalam 10 dari 74 sampel. Pada 2004 bakteri itu masih ditemukan dalam 3 sampel dari 46 sampel yang diteliti.
Penelitian yang sama pada 2006 justru menemukan kecenderungan yang lebih tinggi E. Sakazakii ditemukan dalam 22,73% sampel susu formula dan 40% sampel makanan bayi.
Dari hasil karakterisasi bahaya yang dilakukan dalam penelitian pada 2006, ditemukan bahwa E. Sakazakii dapat menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis. Karena dianggap berbahaya, pada 2006 hasil penelitian tersebut dilaporkan ke BPOM.

Penemuan itu menjadi pertimbangan bagi IPB untuk mengajukan ke BPOM agar Indonesia mengikuti aturan Codex Alimentarius Commission untuk membatasi kadar cemaran E. Sakazakii dalam susu formula, makanan bayi, serta barang konsumsi lain.
Selain itu pada saat itu pihak IPB berharap agar BPOM dapat melakukan penelitian yang lebih memadai, misalnya dengan metode survaillance agar dapat menyertakan keseluruhan merek susu formula dan makanan bayi yang beredar di pasaran.

Baru pada 2009 BPOM mengadopsi Codex yang mengatur cemaran E. Sakazaki. Bpom juga melakukan survaillance terhadap seluruh merek susu dan makanan bayi yang beredar di pasaran.
Survaillance terus berlanjut hingga saat ini, tetapi Bpom sudah tidak menemukan satu pun merek susu yang mengandung cemaran E. Sakazaki, paska adopsi Codex itu.

“BPOM adalah lembaga pengawas, kami tidak dapat melakukan pengawasan sebelum ada aturannya. Oleh karena itu Codex harus diadaptasi kemudian kami melakukan pengawasan terhadap susu yang beredar di pasaran mulai 2009, berdasarkan Codex” Jelas Kustantinah, Kepala BPOM.

Berdasarkan fungsi pengawasan itulah BPOM mengumumkan hasil penelitiannya terhadap berbagai susu yang ada di pasaran. Sejak 2009 hingga kini Bpom telah meneliti 117 jenis susu di pasaran Indonesia yang kesemuanya aman dari E. Sakazaki.

Harry Suhardiyanto, Rektor IPB mengatakan untuk mengumumkan jenis susu yang aman dan tidak aman demi memenuhi kepentingan publik merupakan kewenangan Bpom, apalagi Bpom telah melakukan penelitian paling baru dari segi waktu serta mencakup seluruh jenis susu formula dan makanan bayi yang ada.

Apabila IPB terpaksa mengumumkan merek susu dengan cemaran E. Sakazaki berdasar hasil penelitian Estu, hal tersebut akan menyalahi prinsip keadilan dalam penelitian karena sampel yang digunakan belum mencakup seluruh sampel yang beredar di pasaran.

Padahal sampel yang tidak diteliti belum tentu terbebas dari cemaran. Hal ini tentu tidak adil dan mendiskriminasi pihak tertentu karena tidak seluruh sampel yang ada diteliti.

Sementara itu, kewajiban mempublikasikan isi penelitian sudah dilakukan IPB dan Estu melalui berbagai Jurnal Internasional. Hasil penelitian tersebut juga telah dipaparkan dalam pertemuan internasional tentang E. sakazakii yang diselenggarakan oleh WHO dan FAO di Roma, Italia pada 2006.

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengungkapkan pihaknya tidak dapat memaksa IPB untuk mengumumkan merek susu karena IPB adalah lembaga independen yang tidak memiliki kewajiban melaporkan hasil penelitiannya.

Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional juga menghargai sikap IPB untuk tidak menyebutkan merek susu yang menjadi sampel penelitian karena telah diatur dalam kode etik internasional bahwa merek produk yang menjadi objek penelitian tidak disebutkan.
Selain itu dia juga menyatakan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan pada penyelenggara pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dilindungi oleh hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 UU No 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional.
———-
Di Luar persoalan hukum, probabilitas infeksi oleh E. Sakazaki sangatlah kecil, terhitung hanya ada 48 kasus bayi yang terinfeksi selama 42 tahun dalam kurun waktu 1961-2003. E. sakazaki juga hanya berbahaya bagi bayi di bawah usia 28 hari, bayi yang lahir dengan berat badan rendah, prematur, serta bayi dengan human immunodeficiency virus (HIV).

Oleh karena itulah bayi baru lahir hingga usia enam bulan sangat disarankan untuk mengonsumsi ASI eksklusif. Akan tetapi jika harus ditambahkan dengan susu formula penyajiannya harus dipastikan higienis karena pencemaran E. Sakazaki tidak hanya terjadi dari bahan baku maupun pasteurisasi susu, tetapi juga ketika pembukaan kemasan susu hingga susu disiapkan.
E. Sakazaki sebenarnya mudah dilumpuhkan. Bakteri tersebut akan mati dalam 15 detik jika berada pada suhu 70 derajat celcius atau lebih. Penyajian susu pun harus diperhatikan, misalnya susu yang sudah dingin lebih dari dua jam sangat riskan terkena bakteri.

Jika penyajian makanan bayi dilakukan dengan mengikuti peraturan yang ada, maka infeksi bakteri tidak mungkin terjadi. Namun demikian, masyarakat sudah terlanjur resah, kerugian juga bisa jadi akan dialami oleh industri susu nasional, sementara pemerintah tak kunjung memberikan penjelasan memadai.

Pihak pemerintah, dengan BPOM dan kementerian Kesehatan sebagai tergugat, seharusnya mengambil langkah untuk mulai mengedukasi masyarakat, alih-alih bersembunyi dan memojokan pihak tertentu di balik keputusan hukum.

Selain itu, jika dibiarkan berlarut, tuntutan hukum ini dapat memicu keresahan peneliti sehingga mereka enggan berkreasi dan berinovasi menghasilkan penelitian. Jika sudah begitu maka masyarakat juga yang dirugikan akibat kemandegan ilmu pengetahuan serta kesehatan di Indonesia

http://adilazhabrina.blogspot.com/2011/02/kasus-susu-bakteri-ipb-tidak-lempar.html

17.2.11

chilling injury of horticultural crops

 Introduction

Chilling injury is primarily a disorder of crops of tropical and subtropical origin, although certain physiological disorders will appear in temperate crops only when they are stored at low temperatures. Chilling injury is not the same as freezing injury, which is a result of damage from ice crystals formed in tissues stored below their freezing point. The minimum safe temperature for chilling sensitive commodities will be well above their freezing point. The critical temperature for chilling injury varies with the commodity, but it generally occurs when produce is stored at temperatures below 10°–13°C. Therefore, crops which are susceptible to chilling injury often have a short storage life as low temperatures cannot be used to slow deterioration and pathogen growth. Chilling injury may occur in the field, in transit or distribution, in retail or home refrigerators. The effects of short periods of chilling may be cumulative in some commodities.

The primary cause of chilling injury is thought to be damage to plant cell membranes. The membrane damage sets off a cascade of secondary reactions, which may include ethylene production, increased respiration, reduced photosynthesis, interference with energy production, accumulation of toxic compounds such as ethanol and acetaldehyde and altered cellular structure. As plant structures differ in both susceptibility to damage and ability to repair these membranes, symptoms vary greatly between commodities. Chilling injury is a time by temperature problem. If the produce is stored below the critical temperature for short periods, the plant can repair the damage. If exposure is prolonged, irreversible damage occurs and visible symptoms often result. Injury occurs sooner and is more severe, the lower the temperature is below the threshold temperature. Detection and diagnosis of chilling injury is often difficult, as products often look sound when removed from the chilling temperature, but symptoms may occur when the produce is placed at higher temperatures. Symptoms which appear at higher temperatures may appear almost immediately, or may take several days to develop. Symptoms also may not be visible externally.

Climatic conditions during the growing season affect the sensitivity of crops to chilling injury. Chilling injury may increase in colder growing seasons and crops grown in Ontario may be more susceptible than the same cultivars grown in warmer climates.

 Figure 1. Pitting, Shrivelling And Yellowing Of Cucumber Held At 0°C For 4 Days.

Potential Symptoms of Chilling Injury

  • surface lesions
    • pitting, sunken areas and discolouration
    • occurs most frequently in products with a firm, thick peel such as citrus or cucumbers
      (Figure 1)
  • water-soaking of tissues
    • occurs most frequently in fruit and vegetables with thin or soft peels such as peppers, asparagus and grapes (Figure 2)
  • water loss /dessication /shrivelling (Figure 3)
  • internal discolouration (Figures 4 and 5)
  • tissue breakdown
  • failure of fruit to ripen, or uneven or slow ripening (Figure 6)
  • accelerated senescence/ethylene production
  • shortened storage or shelf life
  • compositional changes e.g., flavour and texture
  • loss of growth or sprouting capability
  • increased decay due to leakage of plant metabolites, which encourage growth of micro-organisms, especially fungi (Figure 7) 
Figure 2. Water-Soaking Of Asparagus Tips Due To Storage At 0°C. Shrivelling And Secondary Rot Is Also Occurring.
Figure 3. Shrivelling And Pitting Of Pepper With Chilling Injury. Note Lower Susceptibility Of The Red Variety.

Figure 4. Low Temperature Induced Internal Browning Of "Newton" Apple Stored At 0°C.

Figure 5. Flesh Reddening And "Woolly" Texture Of Nectarines Stored At 2°C For 3 Weeks.

Figure 6. Abnormal/Uneven Ripening Of Green Tomatoes Stored At 3°C And Subsequently Ripened At Room Temperature.

Figure 7. Breakdown And Subsequent Decay Of Cantaloupes Stored At 0°C For 4 Days.

Minimizing Chilling Injury

Although chilling injury is most easily prevented by storing susceptible crops above their critical temperatures, this is not always possible when only one storage facility is available for several crops. In this situation, there are methods to reduce the severity of chilling injury; however, not all of these methods will be appropriate for all crops.
  • Minimize the length of time the crop is exposed to the chilling temperature: If exposure is minimal, the damage can be reversed and no visual symptoms will occur.
  • Preconditioning: Stepwise cooling of the commodity can allow the fruit to adapt to the cooler temperatures and minimize chilling injury development.
  • Intermittent Warming: Warming the commodity to room temperature at intervals during storage before permanent injury has occurred will allow the product to recover and prevent chilling injury symptoms.
    • This treatment may, however, cause undesirable softening and increase decay and may cause condensation to form on the product.
  • Cultivar selection: Certain cultivars are more resistant to chilling.
  • Pre-harvest Nutrition: Proper pre-harvest nutrition can minimize chilling susceptibility. Calcium treatment may stabilize cellular membranes and reduce chilling injury in certain commodities.
  • Maturity/Ripeness selection: Generally riper fruit is less susceptible to chilling injury. Ripe tomatoes, bananas and avocados tolerate lower temperatures than unripe fruit. Peaches and nectarines which are ripened for 1–2 days after harvest prior to storage are less susceptible to low temperatures.
  • Specialty Storages: High humidity can minimize dessication due to chilling injury. Controlled or modified atmospheres (generally O2 <5%, CO2 >2%) can slow plant metabolism and slow chilling injury development in certain crops (e.g., peaches, nectarines, okra, avocado). Controlled atmospheres can also allow longer storage of chilling sensitive crops when stored above their critical temperature.
    • Controlled atmospheres may in some cases further stress crops and increase chilling injury susceptibility (e.g., some apple cultivars, cucumbers, tomatoes, asparagus and citrus).
  • Other Treatments: Other methods which are still in experimental stages include treatment with hormones or other chemicals to stabilize plant membranes and induction of chilling resistance by exposure to other stresses such as high temperature or low oxygen concentration. 
Table 1. Examples Of Fruits, Vegetables And Floriculture Products Susceptible To Chilling Injury.1
Commodity
Recommended Minimum Storage Temperature (°C)2
Potential Chilling Injury Symptoms3
Anthurium
> 13
darkening and water-soaked appearance
Apple
0–7
core or flesh browning, fermented flavour, spongy texture, susceptibility and symptoms vary with cultivar
Asparagus
2–4
occurs primarily at the tips - darkened and water-soaked followed by bacterial soft rot
Avocado
7–13
darkening of vascular tissues, discolouration of flesh and skin, off-flavours and odours, abnormal ripening
Banana
> 13
green fruit: brown under peel discolouration. Ripe fruit: brown to black peel discolouration, off-flavours, abnormal ripening
Basil
7–10
wilting, water-soaked appearance, darkening
Bean (snap)
7–10
russeting, pitting 
Cantaloupe
2–5
pitting, surface decay
Cucumber
7–10
pitting of surface, lenticel area affected first, followed by Fusarium and other rots 
Egg-plant
7–13
scald-like browning, pitting, flesh browning, decay and loosening of capstems, Alternaria rot 
Grapefruit  
10–15
brown pitting of rind, watery breakdown of internal and external tissues, fermented odour 
Honeydew Melon  
7–13
water-soaking of the rind, softening, greying or browning, surface becomes soft and sticky resulting in increased decay 
Lemon  
10–14
as for grapefruit, plus red blotch
Lime  
9–12
as for grapefruit 
Mango  
> 13
greyish skin discolouration, pitting, uneven ripening, poor flavour, increased susceptibility to Alternaria rot 
Okra
7–10
pitting 
Orange  
2–5
as for grapefruit 
Orchid, cattleya
7–10
discolouration of column first, then sepals and petals 
Papaya
7–13
pitting, olive or brown discolouration, abnormal ripening  
Peach/Nectarine
-0.5–1
(critical temperature 2–8) – internal breakdown, mealiness, abnormal ripening, flesh browning or reddening  
Pepper  
7–13
water-soaked appearance, sheet pittting, darkening, predisposition to Alternaria and Botrytis
Pineapple
7–13
flesh watery, followed by browning or blackening 
Poinsettia  
> 13
leaf drop, wilting 
Potato
3–10
mahogany browning, sweetening 
Pumpkins/winter squash
10–15
rot, primarily Alternaria 
Sweet potato  
> 13
flesh discolouration, internal breakdown, increased decay, off- flavours, hard core when cooked 
Tomato – ripe
– green
7–13
> 13
rubbery texture, watery flesh, irregular ripening, seed browning 
Watermelon
10–15
pitting, loss of flavour, fading of red colour 
Zucchini/summer squash
5–10
surface pitting, rapid decay 

Sources:
  1. Produce Handler’s Guide, Agriculture and Agri-food Canada; Postharvest Technology of Horticultural Crops, University of California; The Commercial Storage of Fruits, Vegetables and Nursery Stocks, U.S.D.A.
  2. Optimum temperature varies with cultivar, storage duration, maturity and pre-storage conditions.
  3. Symptoms usually appear upon return to warm temperatures and will vary with cultivar, storage duration, maturity and pre-storage conditions.
  4. http://www.omafra.gov.on.ca/english/crops/facts/98-021.htm

beberapa jenis kerusakan pascapanen hortikultura

Kerusakan Pascapanen ada 4 macam, yaitu :

1. Kerusakan mekanis
Sayur atau buah mengalami perishable sehingga mudah mengalami kerusakan mekanis mulai dari saat panen hingga distribusi ke pasar.
Kerugian yang diakibatkannya : secara langsung menurunkan mutu produk sehingga harga murah,tidak langsung > respirai dan produksi etilen yg meningkat sehingga buah dan sayur cepat masak dan daya simpan menurun.

2. Gangguan fisiologis

A. Transpirasi (proses penguapan air dari jaringan bahan) berakibat antara lain : susut berat, layu, keriput sehingga terkesan sudah rusak dan menjadikan harga jualnya murah.
Cara mengatasinya dengan :
a) pengaturan kelembaban dan suhu udara (RH: 85-95% dan T: 0-5’C),         
b) pengemasan untuk mempertahankan atmosfer sekitar bahan yg hampir jenuh,
c)waxing atau melapisi bahan dengan lilin untuk mengurangi keluarnya air dari bahan.

B. Respirasi, yang menghasilkan panas, H2O, CO2, KH, Protein, Lemak, Vitamin, dll.
Faktor2 yg berpengaruh terhadap laju respirasi :
faktor external: suhu, kadar CO2, kadar O2, kadar Etilen, kerusakan bahan
faktor internal: tingkat perkembangan, susunan kimia jaringan, ukuran, jenis jaringan, pelapis alami.

2. Kerusakan non parasiter

A. Pengaruh Suhu:
suhu ekstrem (tinggi/rendah) menyebabkan kerusakan
chilling injury (cacat akibat suhu rendah)
kerusakan bergantung pda suhu, waktu, sensitivitas bahan terhadap suhu
perlakuan suhu berpengaruh terhadap reaksi-reaksi metabolisme dalam jaringan
terjadi perubahan fase membran lipid
cacat suhu rendah mempengaruhi fragilitas membran

B. Pengaruh RH (Relative Humidity/kelembaban relatif):
RH tinggi menyebabkan kulit retak-retak
RH rendah mnyebabkan penurunan berat, keriput dan layu

C. Pengaruh O2
O2 rendah mnyebabkan nekrosis (akibat metabolisme anaerob)

D. Pengaruh CO2
Timbulnya warna coklat akibat oksidasi atau kerusakan vit. C
Tekstur seperti gabus atau spongy (pada apel)
Buah kehilangan bau dan rasa, kulit mengerut, pori-pori melebar
Terjadi produksi toksik/racun pd buah (adanya senyawa alkohol dan asetaldehid yang terakumulasi)

D. Defisiensi mineral (mineral berpengaruh terhadap metabolisme)
Kekurangan Ca menyebabkan berbagai kerusakan fisiologis seperti: rasa pahit dan
lentisel yang pecah pada apel
Kalium menghambat pematangan pada tomat sehingga warna merah sukar terbentuk

3. Kerusakan karena penyakit parasiter

A. Bakteri
Penyakit merah jambu pada nanas,bakteri masuk lewat luka sehingga setelah diolah
daging buah menjadi coklat
Penyakit marmer nanas,yaitu timbul bercak-bercak coklat mengeras

B. Jamur
Busuk teras pada nanas,yaitu busuk pada bagian hati dan warnanya coklat, buah menjadi lunak
Penyakit antraknose pada pisang, yaitu timbul bercak-bercak dan menyebabkan busuk

4. Kerusakan suhu rendah (chilling injury)

Dilihat dari faktor penyebabnya Chilling injury ada beberapa macam yaitu:

1. Daya tahan dinding sel.
Pendinginan dapat menurunkan daya tahan dinding sel terhadap serangan mikroorganisme, sehingga bila terdapat luka atau cacat atau lecet sedikitpun pada bahan pangan yang akan didinginkan, maka luka akan cepat sekali menjalar ke bagian-bagian lain.

2. Perubahan warna (discoloration).
Perubahan warna dapat terjadi, dibagian luar ataupun di bagian dalam bahan pangan berkisar antara coklat sampai hitam. Perubahan warna ini akan cepat terlihat setelah bahan tersebut dikeluarkan dari alat pendingin, sedangkan pewarnaan di dalam jaringan (buah) dapat dilihat jika buah tersebut dipotong.

3. Burik-burik bopeng (pitting).
Kerusakan jenis ini disebabkan oleh kelembaban udara yang rendah disekitar bahan yang didinginkan.
Sebagai akibatnya terjadi pengeringan bahan, sel-sel bahan rusak dan jaringan bahan akan kelihatan cekung dan transparan.

4. Pertukaran bau dan aroma.
Di dalam ruang pendingin yang diisi lebih dari satu macam komodtas, maka kemungkinan terjadinya pertukaran bau dan aroma sangat besar. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa apel tidak dapat didinginkan bersama-sama dengan seledri, bawang merah ataupun kubis.

when i miss *** so much

On the night like this
There’s so many things I want to tell you
On the night like this
There’s so many things I want to show you

Cause when you’re around
I feel safe and warm
When you’re around
I can fall in love every day

In the case like this
There are a thousand good reasons
I want you to stay…


 *song by: mocca

16.2.11

colour pink :)


**
..^^ just for my only one, i want you listen to this song:

I’ve got the best thing in the world
Coz’ I got you in my heart
And this screw little world
Let’s hold hand together
We can share forever
Maybe someday the sky will be coloured with our love
I wake up in the morning
Feeling emptyness in my heart
This pain is just too real
I dream about you, with someone else
Please say that you love me
That we’ll never be apart
You have to promise
That you will be faithfull
And there will be lots and lots of love
It is the thing that really matters in this world…
*song by: mocca-the best thing-

14.2.11

setelah sidkom I

alhamdulillah...
hari ini telah terlewati dengan sidang komisi I

subhanalloh ya Robbana, tidak pernah terbayangkan sama sekali untuk  dapat melewati detik-detik yang begitu panjang ini, sedangkan perjalanan baru akan dimulai..

sesuatu yang hamba yakin adalah dengan adanya kemudahan dariMu berupa pertolongan2 dan terbukanya banyak jalan..
Ya Alloh..jadikanlah hamba termasuk kedalam golongan orang-orang yang selalu mendapat Rahmat dan Kasih sayangMu untuk senantiasa berada di dalam jalan kebaikan serta selalu istiqomah menjalankan apa yang Engkau perintahkan dan meninggalkan segala apa-apa yang tidak Engkau sukai..jadikanlah hamba termasuk kedalam golongan orang-orang yang bertaqwa..

perjalanan menjadi master ini bener panjang ya Alloh..dan amanah yang harus dijalankan ketika telah meraihnya juga luar biasa berat. pantaskanlah..pantaskanlah hamba menjalaninya..

Aamiin..

13.2.11

-lagi2..perhatikanlah adab kesopanan kita-

Rasululloh SAW mengajarkan pada kita adab ketika ingin bersilaturrahim ke kediaman seseorang...
hendaknya kita mengucapkan salam..salam yang baik dengan mendoa'kan si empu rumah diikuti dengan mengetuk pintu rumahnya..
jika sudah kita lakukan 3x tapi tidak ada jawaban, mungkin si empunya rumah lagi tidak ingin diganggu..
sebaikknya kita pergi dan jangan memanggil lagi

adab, sopan santun, etika, atitude...atau apalah itu namanya adalah faktor utama yang sering diperhatikan masyarakat pada diri kita, terkhusus bagi kita-pemakai jilbab gede-.
kemanapun pergi, orang di sekitar pasti merhatiin tingkah kita..
amanah bagi kita untuk menjadi tauladan...memberi contoh yang baik2 dalam adab terkait dalam hal apa saja sehari-hari..

jadi teringat kejadian tadi siang
huuummm...
tiba-tiba ada seseorang yang selonong boy masuk k kosan..
masuk-masuk, -lupa- tanpa salam atau enggak, buka pintu dan langsung nyari orang..


ckckck...
benaraaaan, ampun deh..^^

11.2.11

rantai pendingin pascapanen buah belimbing (Carambola averrhoa L.)

Belimbing merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Amerika bagian tropis kemudian menyebar luas ke berbagai negara beriklim tropis lainnya di dunia termasuk Indonesia. Bentuk pohon belimbing kecil, tinggi mencapai 10 m dengan batang yang tidak begitu besar dan mempunyai garis tengah hanya sekitar 30 cm. Pada umumnya belimbing ditanam dalam bentuk kultivar pekarangan (home yard gardening), yaitu diusahakan sebagai tanaman peneduh di halaman-halaman rumah. Di kawasan Amerika, buah belimbing dikenal dengan nama “star fruit” dan jenis belimbing yang populer digemari oleh masyarakat adalah belimbing “Florida”.

Dalam taksonomi tumbuhan, belimbing diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom          : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi               : Spermatphyta (tumbuhan berbiji)
Sub-divisi        : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas               : Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo                : Oxalidales
Famili              : Oxalidaceae
Genus              : Averrhoa
Spesies             : Averrhoa carambola L. (belimbing manis)
Di indonesia dikenal cukup banyak ragam varietas belimbing, diantaranya varietas Sembiring, Siwalan, Dewi, Demak Kapur, Demak Kunir, Demak Jingga, Pasar Minggu, Wijaya, Paris, Filipina, Taiwan, Bangkok dan varietas Malaysia. Tahun 1987 telah dilepas dua varietas belimbing unggul nasional yaitu: varietas Kunir dan Kapur.

Sampai saat ini sentra penanaman belimbing sebagai usahatani secara intensif dan komersial adalah Malaysia. Pada tahun 1993 Malaysia mampu mengekspor buah belimbing segar sebanyak 10.220 mt (metrik ton) senilai Rp 2 M yang dipasok ke Hongkong, Singapura, Taiwan, Timur Tengah dan Eropa Barat. Melihat peluang pasar yang masih terbuka Indonesia saat inipun mulai mengembangkan buah belimbing secara komersil dan mulai diintensifkan penanamannya khususnya di daerah DKI Jakarta.
Gambar 1. Buah belimbing (Averrhoa carambola L.).
 
Karakteristik Panen dan Pascapanen Buah Belimbing

Buah belimbing merupakan buah non-klimaterik sehingga pemanenan buah harus dilakukan pada saat buah matang di pohon. Pemanenan biasanya dilakukan dengan melihat perubahan warna kulit buahnya dari hijau atau hijau-kekuningan menjadi warna kuning atau kuning-orange. Indeks warna kematangan belimbing seperti ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2. Indeks warna kematangan buah belimbing.

Kadar gula maksimum terkandung pada buah yang berwarna kuning sempurna, namun buah sangat rapuh, mudah pecah dan gampang terluka. Oleh karena itu, buah belimbing biasanya dipanen saat perubahan warnanya berhenti. Buah dengan warna kuning 50-70% lebih keras dibandingkan dengan buah yang berwarna kuning sempurna atau kuning-orange, buah dengan warrna ini dianggap sebagai kematangan komersil. Warna buah belimbing akan terus berkembang setelah panen, walaupun demikian hanya sedikit perubahan yang terjadi pada kualitasnya.

Buah belimbing digolongkan kedalam jenis buahan yang tidak terlalu sensitif terhadap kerusakan dingin (chilling injury). Namun, selama pentimpanan dingin yang berlangsung pada suhu 0oC  atau 5oC selama 2 dan 6 minggu terdapat gejala-gejala kerusakan dingin seperti bintik-bintik kecik pada permukaan kulitnya dan warna coklat pada seluruh sisi pinggir rusuknya. Gejala-gejala kerusakan dingin ini akan semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Buah yang dipanen pada saat masih hijau akan lebih mudah terkena kerusakan dingin.

Laju produksi etilen buah belimbing termasuk rendah, pada suhu 20oC produksinya < 3 µl C2H4/kg.h (bergantung pada tingkat kematangan). Produksi etilen tertinggi terjadi setelah 20 hari penyimpanan pada suhu 20oC dan akan berhubungan dengan kerusakan buah. Laju respirsi buah belimbing seperti pada tabel 2. Laju respirasi ini akan berbeda bergantung pada jenis atau varietas buahnya dan tingkat kematangannya.

Tabel 2. Laju respirasi buah belimbing
No.
Temperatur
Mg CO2/kg.h
1.
5oC
10 sampai 19
2.
10 oC
15 sampai 29
3.
15 oC
19 sampai 34
4.
20 oC
37 sampai 92

Penyebab-Penyebab Losses Pascapanen

Penyebab losses pada pascapanen dapat disebabkan dari faktor eksternal juga internal. Beberapa faktor eksternal yang menyebabkan kehilangan pascapanen yaitu:
1.      Kerusakan mekanis (mechanical injury)
Buah-buahan segar sangat rentan terhadap kerusakan mekanis karena memiliki tekstur yang lembut dan mengandung kadar air relatif tinggi. Penanganan yang buruk (minim) pada saat panen, ketidaktepatan dalam pengemasan dan pengepakan selama transportasi akan menyebabkan buah tergores, memar dan pecah, kerusakan ini akan pada tingkat yang lebih parah mengakibatkan kebusukan buah.
2.      Hama dan penyakit (parasitic disease)

        Pada umumnya serangan jamur, bakteri dan hama penyakit adalah penyebab utama susut pada buah-buahan pascapanen. Mikroorganisme dengan mudah menyerang buahan dan menyebar dengan cepat. Teknologi pengendalian hama dan penyakit diperlukan dalam menjaga mutu selama dalam rantai pemasaran komoditas buah. pengendalian hama dan penyakit berawal dari pencegahan infestasi hama dan penyakit dari daerah sentra produksi, sehingga dapat membatasi penyebarannya.
sedangkan faktor internal yaitu:

1.      Penurunan sifat fisiologis
Setelah dipanen jaringan pada buah-buahan masih tetap hidup dan akan terus melakukan aktivitas fisiologisnya. Kerusakan fisiologis ini dapat terjadi karena kekurangan zat-zat mineral, kerusakan akibat suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai pada ruang penyimpanan seperti kelembaban yang tinggi. Penurunan sifat fisiologis ini dapat terjadi secara spontanitas karena aktivitas enzim dan kemudian menyebabkan buah terlalu matang dan mengalami pelayuan.

Strategi Penanganan Losses Pascapanen

Buah-buahan yang termasuk dalam losses atau bermutu buruk dan tidak layak dipasarkan dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi produk turunan dari buah tersebut seperti jam dan ekstrak sari buah sehingga susut dapat diminimalisasi dengan adanya nilai tambah (value added) dari buahan tersebut. Terdapat beberapa strategi dalam mengurangi susut pada buahan pascapanen, yaitu:
1.      Kualitas buah
Seberapa bagus penanganan  panen dan pascapanen pada buahan jika tidak didukung dengan kualitas buah yang baik, susut produk tidak akan dapat diminimalisasikan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memilihan bibit dan varietas unggul. Kegiatan on-farm seperti pemilihan bahan-bahan budidaya (lahan dan irigasi), manajemen pemanenan yang baik (teknik atau metode pemanenan) dan kontrol terhadap hama dan penyakit harus disesuaikan sehingga dapat menghasilkan buah-buahan dengan kualitas yang prima.
2.      Sentra pengemasan (packing stations)
Pada umumnya, setelah buah di panen pengemasan biasanya langsung dilakukan di kebun tanpa ada perlakuan pendahuluan lalu dibawa ke pasar, bahkan terkadang tidak dilakukan pengemasan  Di negara-negara berkembang, packing stations atau packing house memiliki perananan yang penting, buah dari kebun dilakukan perlakuan pendahuluan seperti pencucian (precooling), pemotongan tangkai dan pembersihan lainnya lalu diangkut ke packing stations. Fungsi dari packing stations ini adalah melakukan sortasi, grading buah berdasarkan kualitas pemasaran lalu buah di kemas sesuai dengan tujuan pemasarannya seperti karton, keranjang plastik atau juga peti kayu.
3.      Sistem transportasi buah.
Transportasi buah harus dilakukan dengan cepat. Rute perjalanan buah ke tujuan pemasaran harus dipilih yang singkat dan tidak menghabiskan banyak waktu. Dalam perjalanan ke tempat pemasaran buah biasanya diletakkan pada kontainer yang kondisi lingkungan (suhu dan kelambaban) telah diatur sesuai dengan waktu perjalanan. Biasanya buah-buahan disimpan dalam suhu yang rendah untuk memperlambat perubahan mutu. Kerusakan mekanis akibat gunjangan dan tumpang tindih buahan juga harus diperhatikan.
4.      Cold/cool chain
Tujuan perlakuan cold/cool chain ini menjaga buah agar tetap segar dan berada dalam kondisi mutu yang bagus, oleh karena itu rantai pendingin harus tetap dijaga selama pendistribusian buah, dimulai setelah buah dipanen sampai pada saat buah dipasarkan.

Penanganan Panen Buah Belimbing

Penanganan pascapanen buah diawali dari pemanenan atau pemetikan. Dengan demikian pemanenan menjadi titik kritis yang sangat berpengaruh pada mutu buah. Penentuan umur petik didasarkan atas hasil, tampilan visual, harga yang diharapkan, taksiran kehilangan akibat pemilahan untuk mencapai mutu pengapalan (shipping quality) dan kondisi lapangan. Sementara indeks ketuaan buah dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain berdasarkan ukuran (panjang, lebar atau diameter buah), bobot buah, atau bobot jenis buah, perubahan warna, tekstur, kadar air, kadar padatan terlarut (TPT), kadar pati, kadar gula, kadar asam, bahkan evaluasi morfologis. Pemetikan yang kurang (muda) atau melebihi (lewat tua) dari umur fisiologisnya akan menghasilkan mutu buah yang tidak prima.

Menurut Pantastico (1986) untuk menentukan waktu panen dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1.      Secara visual, dengan melihat warna kulit dan ukuran buah, adanya sisa tangkai putik, mengeringnya tepi daun tua dan mengeringnya tubuh tanaman
2.      Secara fisik, dilihat dari mudah atau tidaknya buah terlepas dari tangkai dan berat jenisnya
3.      Secara analisis kimia, kandungan zat padat, zat asam, perbandingan zat padat dan zat asam serta kandungan pati.   Secara perhitungan, jumlah hari setelah bunga mekar dalam hubungannya dengan tanggal berbunga
5.      Secara fisiologis dengan melihat laju respirasinya.

Kualitas atau mutu buah belimbing ditentukan oleh waktu dan cara pemetikannya. Pemetikan yang dilakukan pada saat yang tepat akan menghasilkan buah yang enak dan warna buah yang menarik. Pemetikan yang dilakukan pada saat buah belum siap panen akan menurunkan kualitas buah, dengan rasa buah yang masam dan sepat, warnanya tidak menarik dan jika dibiarkan masak dalam penyimpanan akan menyebabkan buah keriput dan pucat.

Belimbing termasuk kedalam golongan buah non-klimaterik atau buah yang tidak pernah mencapai puncak respirasinya sehingga buah belimbing tidak dapat diperam oleh karena itu buah harus dipetik tepat setelah matang dipohon. Cara panen yang baik adalah pemetikan dengan cara memanjat pohon atau menggunakan tangga. Buah dipanen dengan menggunting tangkai buah tanpa membuka bungkusnya. Waktu panen yang tepat yaitu pada pagi hari, saat buah masih segar dan sinar matahari belum panas.

Ciri buah yang siap panen adalah ukurannya besar (mencapai ukuran maksimal), telah matang dan warnanya berubah dari hijau menjadi kuning atau merah tergantung pada varietasnya dan dapat juga dilihat dari kulitnya yang mengkilap dan daging buah pada siripnya sudah tampak penuh.

Belimbing berbuah tidak mengenal musim. Panen biasanya dapat dilakukan 3-4 kali dalam setahun. Panen besar biasanya terjadi pada bulan Juli-Agustus. Umur panen (petik) buah belimbing sangat dipengaruhi oleh letak geografis pemanenan, yaitu faktor lingkungan dan iklim. Di daerah dataran rendah, umur petik buah belimbing sekitar 35-60 hari setelah pembungkusan atau 65-90 hari setelah bunga mekar.

Potensi produksi atau hasil buah belimbing varietas unggul yang ditanam di kebun secara permanen dan dipelihara intensif dapat mencapai 150-300 buah/pohon/tahun. Bila jarak tanam 5 x 5 m dengan populasi per hektar antara 250-400 pohon dengan produktivitas 150-300 buah/pohon dan berat per buah rata-rata adalah 160 gram, maka tingkat produktivitasnya dapat mencapai 6-19 ton/ha.

Penanganan Pascapanen Buah Belimbing

Penanganan pascapanen buah-buahan dilakukan untuk tujuan penyimpanan, transportasi dan pemasaran. Pada umumnya kegiatan penanganan pascapanen dilakukan dalam satu pusat penanganan (packing house operation = PHO). Rangkaian kegiatan utama di PHO ini terdiri dari pemilihan (sorting), pemisahan berdasarkan ukuran atau standar mutu (sizing/grading) dan pengemasan. Beberapa kegiatan tambahan diperlukan didalam penaganan pascapanen, seperti pencucian, precooling dan waxing. Semakin panjang proses penanganan ataupun penundaan penanganan akan mengakibatkan kehilangan dan kerusakan seperti susut bobot, pembusukan serta penurunan nilai gizi yang semakin besar.

Pencucian

Pencucian ini bertujuan untuk membersihkan buah dari kotoran (tanah atau benda-benda asing lainnya) dan residu pestisida. Proses pencucian dilakukan dengan air mengalir untuk menghindari terjadinya penularan penyakit pada buah. Penggunaan deterjen pada dosis tertentu dapat membersihkan lebih sempurna, sehingga penampakan buah akan menjadi lebih besih. Setelah selesai pencucian, buah belimbing dikeringkan untuk menghilangkan akses air dengan cara diangin-anginkan dalam hamparan atau mengalirkan uap panas.

Precooling

Precooling adalah suatu proses untuk menurunkan suhu buah segera setelah proses pemanenan, terutama bila pemanenan dilakukan pada saat siang hari. Suhu yang tinggi bersifat merusak mutu simpan buah-buahan. Dengan precooling juga dapat menurunkan proses respirasi buah, kepekaan terhadap mikroba dan dapat mengurangi jumlah air yang hilang. Precooling mutlak dilakukan dalam pelaksanaan sistem transportasi rantai dingin (cold/cool chain).

Sortasi dan Grading

Sortasi dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan komoditas yang dipanen dalam bentuk normal dan baik (tidak mengalami kerusakan fisik). Penundaan waktu sortasi akan memperbesar pembusukan. Sortasi dilakukan setelah panen pada ruangan yang beratap dengan sirkulasi udara yang baik, bungkus dibuka dengan hati-hati. Buah yang rusak secara mekanis atau mengalami gangguan harus dipisahkan. Seteleh itu proses sortasi dilanjutkan dengan pengelompoan buah menurut ukuran dan fase masak (grading). Buah dengan ukuran besar (250-300 gr) dan fase masak penuh, dipisahkan untuk penjualan ke pasar swalayan. Selama 24 jam dapat terjadi sedikit perubahan warna dan rasa. Setelah itu, praktis tidak terjadi peningkatan rasa manis. Buah yang kecil (150-250 gr) dan kematangannya penuh dapat dipasarkan ke pasar tradisional, sedangkan buah yang lebih kecil dengan matang penuh yang pada awalnya dipisahkan karena kerusakan mekanis atau gangguan dapat diproses lebih lanjut untuk dibuat sari buah dan sebagainya.

Namun untuk bersaing di pasaran ekspor tentunya terdapat standar grading tersendiri. BSN telah menetapkan untuk standar mutu (SNI) buah belimbing manis yaitu SNI 01-4491-1998 yaitu kelas super: berat >330 gram/buah, kelas A: berat 251-330 gram/buah dan kelas B: berat 201-250 gram/buah. Malaysia yang menjadi pengekspor buah belimbing melalui Lembaga pemasaran pertanian persekutuan (FAMA) Kementrian Pertanian dan Industri Asas Tani Malaysia telah menetapkan bentuk yang standar untuk belimbing yang akan dipasarkan segar ke konsumen. Pada standar tersebut belimbing dibagi kedalam 3 klas yaitu klas premium, klas 1 dan klas 2. Spesifikasi dari masing-masing klas sebagai berikut:

Tabel 3. Klasifikasi, spesifikasi dan toleransi untuk belimbing yang dipasarkan segar
Klas
Spesifikasi
Toleransi (maksimum)
Premium
-          Mempunyai varietas yang sama
-          Segar dan bersih
-          Ukuran dan kematangan yang seragam
-          Bebas dari cacat dan kerusakan
-        Kematangan ≤ 3%
-        Segara ≤ 5%
-        Rusak ≤ 3%
-        Cacat ≤ 3%
-        Keseragaman ukuran ≤ 5%
Klas 1
-          Mempunyai varietas yang sama
-          Segar dan bersih
-          Ukuran dan kematangan yang seragam
-          Agak bebas dari cacat dan kerusakan
-        Kematangan ≤ 5%
-        Segara ≤ 5%
-        Rusak ≤ 5%
-        Cacat ≤ 5%
-        Keseragaman ukuran ≤ 5%
Klas 2
-          Mempunyai varietas yang sama
-          Segar dan bersih
-          Ukuran dan kematangan yang seragam
-          Agak bebas dari cacat dan kerusakan
-        Kematangan ≤ 10%
-        Segara ≤ 10%
-        Rusak ≤ 10%
-        Cacat ≤ 10%
-        Keseragaman ukuran ≤ 10%
CODEX (2005) menetapkan standar mutu buah belimbing dan syarat minimum meliputi buah utuh, bersih dari kotoran, bebas dari kerusakan yang disebabkan oleh jamur, bebas dari bau dan rasa asing, keras, tampak segar, bebas dari kerusakan yang disebabkan oleh suhu rendah, bebas dari cacat dan cukup matang. CODEX mengklasifikasikan buah belimbing menjadi 3 klas yaitu: klas ekstra, klas 1 dan klas 2. Klas ekstra mempersyaratkan warna dan tingkat kematangan harus seragam, memiliki bentuk yang baik dan bebas dari cacat. Belimbing yang masuk kedalam klas 1 adalah belimbing yang memiliki keseragaman warna dan kematangan, memiliki bentuk yang cukup baik dan bebas cacat. Pada klas ini dimungkinkan cacat kecil yang tidak mempengaruhi penampilan umum produk dan kualitasnya. Total permukaan cacat yang diperbolehkan tidak lebih dari ≤ 5%. Klas 2 adalah buah yang memenuhi persyaratan minimum dan permukaan cacat tidak lebih dari 10%.
Selama ini sistem sortasi dan grading buah masih dilakukan secara visual dan manual, dimana sortasi visual tersebut kurang mampu memisahkan buah-buahan tersebut mengikuti klasifikasi yang ditentukan. Padahal konsumen luar negeri berani membeli dengan harga tinggi untuk buah-buahan tropis yang dianggap eksotik asalkan diimbangi dengan mutu prima.
Sortasi dan grading juga menjadi permasalah utama pada buah-buahan yang berbuah sepanjang tahun tanpa adanya musim seperti buah belimbing adalah pada saat panen terdapat buah dengan tingkat ketuaan buah yang beragam. Penentuan buah yang akan dipanen dilakukan secara visual sehingga pemanenan menjadi beragam. Oleh karena itu proses sortasi merupakan proses pascapanen yang sangat penting untuk mendapatkan buah yang seragam baik berdasarkan ukuran, tingkat ketuaan, warna dan tingkat kemanisan. Saat ini proses pemutuan buah belimbing ditingkat petani atau pedagang pengumpul dilakukan secara manual. Pemutuan buah secara manual sering kali menghasilkan buah yang tidak seragam, tidak konsisten dan ketidaksesuaian antara mutu bagian dalam dan bagian luar.

Penegndalian Hama dan Penyakit

Beberapa hama yang menyerang buah belimbing, diantaranya adalah lalat buah (Dacus pedestris). Pengendalian dilakukan dengan cara pembungkusan buah pada stadium pentil (umur 1 bulan sejak bunga mekar), mengumpulkan dan membakar sisa tanaman yang berserakan dibawah pohon. Penyakit yang sering ditemukan pada buah belimbing pascapanen adalah Antraenose (Colletotrichum gloeosporioides), gejala yang ditimbulakan adalah potongan kecil, tipis dan berwarna coklat terang pada sirip buah belimbing. Penyakit lain dapat juga disebabkan oleh Alternaria alternata, Cladosporium cladosporioides dan Botrypdiplodia theobroma. Penyakit-penyakit ini dapat terjadi akibat penyimpanan buah dalam jangka waktu lama. Perlakuan panas dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit ini, pencelupan ke dalam air panas atau udara yang dipanaskan.


Gambar 3. Kerusakan buah belimbing akibat penyakit
Pelilinan Buah
Buah-buahan pada umumnya mempunyai lapisan lilin alami pada permukaan kulitnya, yang sebagian dapat hilang dalam proses pencucian. Pelilinan dilakukan untuk memperpanjang daya simpan buah-buahan. Dalam pelilinan harus diupayakan agar pori-pori kulit buah tidak tertutup rapat, sehingga terjadinya metabolisme anaerobik pada kulit buah dapat dicegah. Jenis lilin yang digunakan adalah emulsi lilin-air, yang dalam penggunaannya dicampur dengan fungisida untuk mencegah pembusukan pada buah. Aplikasi pelilinan pada buah-buahan dapat dengan cara pennyelupan, penyemprotan dan pembusaan.

Pengemasan
Proses distribusi meliputi aktivitas-aktivitas seperti pengemasan, penanganan, penggudangan dan pengangkutan. Selama proses pendistribusian, kemasan dan produk yang dikemas akan menghadapi sejumlah resiko yaitu resiko lingkungan seperti: temperatur dan kelembaban, resiko fisis seperti: gesekan, benturan, tekanan dan sebagainya serta resiko lainnya seperti serangan mikroorganisme perusak.
Beberapa penyebab kerusakan mekanis selama pendistribusian anatara lain:
1.      Isi kemasan yang terlalu penuh, menyebabkan meningkatnya kerusakan tekanan atau kompresi karena adanya tambahan tekanan dan tutup kemasan
2.      Isi kemasan yang kurang, menyebabkan kerusakan vibrasi pada lapisan atas. Hal ini disebabkan karena adanya ruang di atas bahan sehingga selama pengangkutan bahan bagian atas akan terlempar-lempar dan saling membentur.
3.      Kelebihan tumpukan, tumpukan bahan yang terlalu tinggi di dalam kemasan akan menyebabkan tekanan yang besar pada buah lapisan bawah sehingga meningkatkan kerusakan kompresi.
Pengemasan merupakan salah satu proses untuk mencegah terjadinya penurunan mutu buah, karena perlindungan atau pengawetan buah dapat dilakuakn dengan pengemasan buah pada kemasan yang tepat. Beberapa sifat kemasan yang diinginkan selama distribusi buahan adalah yang sesuai dengan sifat buahan yang akan dikemas, mempunyai kekuatan yang cukup untuk bertahan dari resiko kerusakan selama pengangkutan dan penyimpanan. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan kemasan yaitu jenis, sifat, tekstur dan dimensi bahan kemasan, komoditas yang diangkut, sifat fisik, bentuk, ukuran, struktur dan pola susunan produk dalam kemasan, permintaan waktu, jarak dan keadaan jalan yang akan dilintasi.
Kemasan buah belimbing dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu: kemasan transportasi dan kemasan retail.
1.      Kemasan transportasi, dibagi dalam dua jenis yaitu: kemasan rigid (kemasan kaku) dan kemasan fleksibel. Kemasan rigid akan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap produk yang dikemas. Kekakuannya tinggi sehingga penumpukan dapat lebih tinggi. Bisa dipakai satu kali atau berulang kali. Contoh kemasan rigid adalah peti kayu dan kardus karton. Kemasan rigid biasanya dapat digunakan untuk pengemasan buah belimbing dengan jarak pemasaran yang relatif jauh. Sedangkan kemasan fleksibel mempunyai bobot yang ringan dan volume produk yang terkemas dapat disesuaikan dengan keinginan konsumen, contohnya adalah kemasan plastik dan kantong jaring. Kemasan ini cocok untuk pemasaran buah belimbing di pasar-pasar tradisional dan umumnya tidak menempuh perjalanan yang jauh.
Gambar 4. Contoh pengemasan belimbing dengan kemasan rigid
1.      Kemasan retail, merupakan kemasan eceran atau kemasan yang terakhir sampai pada konsumen, biasanya berupa laisan streofoam dan plastik polyetilen.
Gambar 5. Contoh pengemasan belimbing dengan kemasan retail
Penyimpanan Dingin
Penyimpanan dingin merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan cara pendinginan pada suhu diatas suhu pembekuannya. Secara umum pendinginan dilakukan pada suhu 2-13oC tergantung dari buahan yang akan disimpan. Proses penyimpanan dingin ini membutuhkan pengendalian terhadap kondisi lingkungan. Pengendalaian dilakukan terhadap suhu yang rendah, komposisi udara, kelembaban dan sirkulasi udara. Pengontrolan lingkungan perlu dilakukan karena proses kerusakan pascapanen komoditas merupakan fungsi suhu dan waktu. Sumber kerusakan seperti aktifitas fisiologis, aktifitas mikroba, transpirasi dan evaporasi, semuanya mempunyai faktor pembatas suhu dan kelembaban. Penggunaan suhu rendah dan kelembaban relatif (RH) tinggi dapat menghambat semua reaksi tersebut sampai pada batas waktu tertentu.
Perubahan mutu akan terus berjalan dengan laju yang lebih lambat sesuai dengan bertambahnya waktu pendingin. Tingkat kerusakan komoditi yang disebabkan oleh suhu pendingin tergantung pada waktu dan lama proses pendinginan. Kelembaban lingkungan sangat berpengaruh terhadap proses fisiologis selama penyimpanan. Kelembaban relatif udara yang jenuh menyebabkan pertumbuhan mikroba, sementara kelembaban relatif yang rendah akan mengakibatkan pengeriputan kulit.
Belimbing yang telah dikemas dapat disimpan pada suhu ruangan dengan suhu 10-15oCselama 7 hari tanpa menurunkan kesegaran dan kualitas buah. Apabila disimpan pada suhu kamar (30oC) buah akan kelihatan mengkerut dan berwarna kecoklatan. Sebaiknya penyimpanan pada suhu kamar diletakkan pada wadah yang tertutup plastik film, tidak lebih dari 3 hari. Sedangkan penyimpanan belimbing pada suhu 4-5oC dengan kelembaban 90-95% buah akan dapat bertahan selama 21-35 hari. Penyimpanan buah belimbing pada suhu yang rendah tapi kelembabannya juga rendah akan menyebabkan buah mengalami kerusakan dingin dengan ciri timbulnya cacat-cacat berwarna coklat di permukaan kulit dan juga pada bagian siripnya. Jika belimbing disimpan pada suhu 20oC dengan RH = 60% buah hanya dapat bertahan 3-4 hari.
Transportasi
Transportasi atau pengangkutan diperlukan untuk membawa buah dari tempat pengemasan/pengepakan di sentra produksi ke berbagai tempat tujuan menggunakan berbagai kendaraan pengangkut. Buah dapat mengalami beberapa kali pengangkutan untuk mencapai tujuan akhir. Jarak tempuhnyapun dapat bervariasi, jarak terpendek jika buah dari sentra pruduksi langsung dipasarkan di kios buah atau pasar setempat. Transportasi yang lebih kompleks terjadi untuk buah tujuan antar pulau atau ekspor.
Buah belimbing dengan tujuan ekspor akan memiliki waktu transportasi yang cukup lama. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya sust adalah dengan melakukan rantai pendingin, selain juga menjaga kerusakan buah akibat luka mekanis selama perjalanan seperti benturan, lecet dan kulit buah tergores.
Apabila buah belimbing telah dipanen dengan mutu yang baik dan dilakukan pengemasan dengan tepat dan baik, maka kualitas tersebut perlu dijaga selama pengangkutan menuju konsumen akhir, penanganan saat distribusi dan penanganan di tingkat pengecer (gambar 6). Upaya mempertahankan kualitas buah tersebut terkait dengan pengelolaan suhu, yaitu mempertahankan suhu buah tetap berada pada kisaran optimal untuk menghambat kemunduran mutu. Dari uraian tersebut, jelas bahwa mempertahankan rantai pendingin selama transportasi, distribusi dan retail adalah hal terbaik yang harus dilakukan untuk menjaga mutu belimbing dan kehilangan susut dapat ditekan.
Jalur A: Sentra produksi – Pasar terdekat
Jalur B: Sentra produksi – Negara ekspor
 
Di negara maju biasanya pengangkutan buah telah memerhatikan rantai pendingin, sehingga untuk pengiriman antar kota/daerah ataupun tujuan ekspor umumnya telah menggunakan truk atau trailer berpendingin. Truk berpendingin memiliki kapasitas angkut yang lebih kecil dari trailer yaitu berupa boks berinsulasi dan dilengkapi dengan pendingin. Trailer berpendingin berupa boks berinsulasi memiliki roda di bagian belakang dan digandengkan dengan kendaraan penggandengnya. Trailer berkapasitas 40, 45, 48 atau 53 ft umumnya digunakan sebagai angkutan antar propinsi atau antar negara dengan fasilitas jalan bebas hambatan. Buah yang diangkut dengan truk berpendingin memiliki daya simpan lebih lama daripada buah dengan pengangkutan tanpa pendingin.
Gambar 7. Rancangan truk yang diberi ‘penagkap angin’ di bagian depan dan susunan peti kayu untuk menjadi aliran udara.

Pengangkutan buah juga dapat dilakukan dengan truk yang tidak dilengkapi dengan pendingin (gambar 7). Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah sirkulasi udara antara tumpukan peti kemasan. Selama perjalanan panjang, dapat terjadi peningkatan suhu di dalam bak yang berasal dari panas yang dikeluarkan oleh buah ditambah dengan panas dari lingkungan luar (bagian bawah dan samping kendaraan). Untuk mengurangi peningkatan suhu yang terjadi di dalam bak truk pengangkut yang ditutup terpal, saat memuat buah dan menutupnya dengan kain terpal harus dimungkinkan adanya aliran udara dari depan  ke belakang yang berguna untuk membuang panas. Rancangan truk tanpa pendingin yang dilengkapi dengan ‘penangkap angin’ dan saluran udara yang disusun dari peti-peti kayu memungkinkan terciptanya aliran udara dari depan ke bagian belakang sehingga dapat menghindari peningkatan suhu, selanjutnya kemasan buah diatur agar tercipta aliran udara tersebut.
 
KESIMPULAN
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah susut dan menambah nilai jual buah belimbing yaitu:
No.
Kegiatan
Prediksi susut bobot atau Penambahan Nilai
Penyebab Susut
Penanganan atau Penambahan Nilai Buah
1.
On farm
Pada kegiatan ini cenderung akan menyebabkan susut bobot yang tinggi apabila tidak dilakukan manajeman pemanen yang baik.
Nilai tambah buah akan dapat dicapai dengan memanen buah sesuai dengan indeks pemanenan dan tujuan pasarnya.
1.  Serangan hama dan penyakit dapat mengakibatkan gagal panen
2.  Indeks pemanenan yang belum jelas sehingga menimbulkan kesalahpahaman antara indeks kematangan buah lokal dan pasar ekspor
3.  Metode pemanenan
4.  Waktu pemanenan
1.    Pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida atau pembungkusan buah belimbing setelah berumur 1 bulan SBM
2.    Perlu ditetapkan kesamaan indeks pemanenan
3.    Metode pemanenan yang tepat untuk buah belimbing yaitu dipetik pada tangkai secara manual, dengan hati-hati dan diletakkan pada keranjang panen yang telah dilapisi dengan kain sehingga dapat meminimalkan kerusakan mekanis pada buah.
4.    Buah belimbing merupakan buah klimaterik sehingga buah harus dalam keadaan matang di pohon ketika dipetik. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari.
2.
Off farm, meliputi beberapa kegiatan pascapanen yaitu:


1.   Kurangnya pemahaman petani terhadap kerusakan baik mekanis maupun patalogi serangga dan hama
2.   Faktor subjektivitas petani dalam pensortitan dan grading mutu buah
3.   Penggunaan tenaga manusia menyebabkan keterbatasan energi sehingga kerap kali terkendala pada kelelahan fisik dan dapat menyebabkan error dalam pensortiran dan grading mutu
4.   Penambahan fasilitas packaging house
1.      Pengembangan metode sortasi, grading dan pengepakan

1.  Pencucian
Memberikan nilai tambah buah
Penggunaan bak pencuci rentan terhadap penularan hama dan penyakit
Pencucian sebaiknya menggunakan air yang mengalir dan diikuti dengan proses pengeringan buah dengan segera

2. Sortasi dan grading
Memberikan nilai tambah buah
Susut terjadi jika ternyata banyak buah yang rusak setelah di panen.
Grading buah dapat menambah nilai jual, belimbing dengan kelas super dan kelas 1 sangat berpotensi untuk diekspor.
3.
3. Pre-cooling
Memberikan nilai tambah buah

Kegiatan awal dari rantai pendingin yang dapat mempertahankan mutu dan mencegah pemunduran sifat fisiologis buah.

3. Pengendaliam hama dan penyakit
Mencegah susut
Belimbing juga rentan terhadap beberapa serangan hama dan penyakit seperti yang telah diuraikan pada pembahasan.
Perlakuan uap panas dapat mencegah perkembangan hama dan penyakit.

4. Pelilinan
Memberikan nilai tambah
Kerusakan mekanis seperti goresan pada kulit buah dapat terjadi selama transportasi dan distribusi.
Pelilinan dilakukan untuk mengurangi kerusakan pada kulit buah

5. Pengemasan
Mencegah susut dan memberikan nilai tambah
Getaran, benturan dan tekanan selama perjalanan transport dan distribusi dapat menyebabkan kerusakan mekanis seperti buah memar, lecet pada permukaan kulit dan buah pecah.
Pemilihan bahan kemasan harus disesuaikan dengan tujuan pemasaran.
Pola penyusunan atau tumpukan buah di dalam peti kemasan harus memperhatikan kemampuan buah tahan terhadap tekanan.

6. Penyimpanan dingin (cool storage)
Mencegah susut
Perjalanan buah yang jauh dan membutuhkan waktu yang lama dapat menyebabkan penurunan mutu. Penyimpanan dingin dilakukan untuk memperlambat pemunduran mutu buah.
Penyimpanan belimbing pada suhu optimalnya.
3.
Transportasi dan display produk
Susut terbanyak juga dapat terjadi selama proses transportasi dan distribusi buah.
Penyebab yang sama seperti pada perlakuan penyimpanan dingin dan pengemasan.
Penjagaan rantai pendingin selama transportasi dan distribusi.
4.
Diversifikasi buah
Memberikan nilai tambah
Pada umumnya buah belimbing dipasarkan langsung dalam kondisi segar, namun untuk memberikan nilai tambah, buah dapat diolah menjadi produk pangan.
Buah yang tidak lolos sortasi dan grading dapat diolah menjadi selai (jam) dan sari buah.
Dari uraian kesimpulan, analisis penanganan pascapanen buah belimbing belum optimal dilakukan karena banyak kekurangnan informasi mengenai sifat-sifat fisik dan biologis buah belimbing terutama untuk varietas unggul Indonesia. Sifat-sifat fisik dan biologi buah yang dibutuhkan antara lain, waktu terlama penyimpanan buah belimbing pada suhu optimalnya tanpa diikuti dengan kerusakan dingin (chilling injury), laju respirasi, perubahan warna setelah buah dipanen, perubahan kadar air dan perubahan kekerasan selama proses penyimpanan dilakukan dan kemampuan buah untuk tahan terhadap tekanan. Selanjutnya yaitu menentukan kemasan buah yang sesuai dengan sifat-sifatnya tersebut dan perlakuan coating (pelapisan buah) untuk memperpanjang masa simpan dan melindungi buah dari serangan hama dan penyakit. Di masa yang akan datang, diharapkan penelitian terhadap sifat-sifat fisik dan biologis terhadap buah belimbing varietas unggul Indonesia dapat dilakukan lebih intensif lagi. 


DAFTAR PUSTAKA

Anoname. Belimbing (Averrhoa carambola L.). http://www.itfnet.org/gfruit/Templates%20English/carambola.harv.post.htm [diakses: 1 Januari 2011]
Broto W dkk. Teknologi Penanganan Pascapanen Buah untuk Pasar.   http://pertanianmjg.perak.gov.my/bahasa/panduan_belimbing.htm                           [diakses: 1 Januari 2011]
Campbell CA. 1989. Storage and Handling of Florida Carambola. Proc. Inter-Amer. Soc. Trop. Hort. 33:79-82 www.fshs.org/Proceedings/Password%20Protected/.../272-275(Campbell).pdf [diakses: 1 Januari 2011]
Hafni Z dan M Kasim. 1999. Budidaya Belimbing Manis Secara Agribisnis di DKI Jakarta. BALITBANG Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Jakarta.
Kader AA dan Lisa K. Praktik-praktik Penanganan Pascapanen Skala Kecil: Manual untuk Produk Hortikultura (Ed.4). http://blog.ub.ac.id/wtomo/2010/03/10/belimbing-averrhoa-carambola/ [diakses: 1 Januari 2011]
Paull RE dan CC Chen. Carambola. www.agrichill.com/handbook/carambola.pdf [diakses: 1 Januari 2011]